Pada 10 Desember 2008 lalu, BI menerbitkan dua aturan mengenai instrumen moneter syariah, yakni Peraturan BI No. 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah dan Surat Edaran BI No.10/44/DPM tentang Tatacara Repo Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Jika dilihat dari timingnya, penerbitan dua aturan tersebut nampaknya berkaitan dengan kesulitan likuiditas bank syariah di akhir 2008.

Kesulitan likuiditas bank syariah ditandai oleh volume transaksi PUAS yang cenderung meningkat dan SWBI yang cenderung menurun di akhir 2008. Rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (FDR) perbankan syariah yang bergerak di sekitar angka 100 persen membuat mereka rawan krisis ketika terjadi penarikan simpanan secara serentak dan dalam jumlah besar. Bank Indonesia menyediakan fasilitas likuiditas bagi perbankan syariah melalui transaksi repo yang berdasarkan akad jual (al-ba’i) dan dilanjutkan dengan janji (al-wa’d) untuk membeli kembali. Perbankan syariah dapat menjual SBSN kepada BI untuk memperoleh likuiditas yang dibutuhkan. Kemudian, bank syariah berjanji untuk membeli kembali surat berharga tersebut pada waktu yang ditentukan. Selain itu, fasilitas repo ini mengenakan biaya sebesar BI rate plus satu persen.

Penggunaan transaksi repo dan BI rate sebagai acuan biaya tentu akan mengundang kontroversi tentang legalitasnya secara syariah. Nampaknya kecemasan terhadap potensi krisis perbankan syariah membuat penerbitan aturan operasi moneter syariah dilakukan sebelum kajian terhadap kesyariahan dan efektivitas instrumen benar-benar matang. Namun tulisan ini akan membatasi pembahasan pada sisi dampak ekonominya.

Risiko Kerugian Spread

Di balik niatan untuk membantu bank syariah yang kesulitan likuiditas, fasilitas pembiayaan BI justru berisiko menjadi petaka bagi bank syariah. Dalam situasi perbankan mengalami pelarian uang, BI cenderung menerapkan kebijakan suku bunga tinggi. Biaya fasilitas likuiditas BI dapat melebihi pendapatan bank syariah dari pembiayaan. Bank syariah akan mengalami kerugian yang secara konsep ekuivalen dengan negative spread pada perbankan konvensional.

Dalam situasi ini, bank syariah cenderung menderita kerugian spread lebih besar dari bank konvensional. Perbankan konvensional mampu menyesuaikan bunga kredit mereka dengan kebijakan bunga BI, sehingga mereka dapat mencegah atau meminimalkan negative spread. Sementara, bank syariah tidak memiliki fleksibilitas seperti itu. Bank syariah terikat akad dengan nasabah pembiayaan dan tidak dapat mengubahnya tanpa persetujuan pihak nasabah.

Bank syariah mungkin masih dapat menegosiasikan perubahan rasio pembagian laba dengan nasabah pembiayaan mudarobah dan musyarokah. Namun pada pembiayaan murabahah, yang merupakan komponen terbesar pembiayaan perbankan syariah di Indonesia maupun di dunia, harga barang yang dibiayai dan marjin laba bank syariah sudah tidak dapat dirubah sekali kesepakatan dan angsuran pembayaran dilakukan.

Basis Mudhorobah

Kemungkinan kerugian spread pada bank syariah berasal dari ketidaksimetrisan antara hak imbal dari penyaluran dan kewajiban imbal pada sumber dana. Bank syariah mendapatkan imbal variabel dari penyaluran dana, tetapi harus membayarkan imbal atau biaya tetap pada BI sebagai sumber dana.

Agar terhindar dari kemungkinan kerugian spread itu, pembiayaan likuiditas BI seharusnya juga memungut biaya atau imbal variabel sesuai dengan perubahan pendapatan bank syariah. Akad mudhorobah merupakan landasan yang lebih tepat bagi pembiayaan likuiditas BI jika ditinjau dari tiga hal.

  1. Dana dari BI pada hakikatnya menggantikan modal dari simpanan mudhorobah yang sedang diwujudkan menjadi aset-aset produktif. Pada saat BI menyuntik dana ke bank syariah, BI dapat dianggap sebagai pemilik baru modal yang mendanai aset-aset produktif tersebut.
  2. Pembiayaan likuiditas berbasis mudhorobah akan selalu hanya membebani bank syariah kurang dari pendapatannya dari penyaluran dana, dengan rasio sesuai kesepakatan. Dengan demikian, tidak ada potensi kerugian spread pada bank syariah. Kerugian hanya akan terjadi jika biaya operasional melebihi pendapatan bersih bank syariah yang telah dikurangi imbalnya kepada sumber dana. Kerugian semacam ini bersumber dari inefisiensi operasi bank syariah, bukan dari desain transaksi atau akad pendanaan.
  3. Pembiayaan likuiditas BI berbasis mudhorobah akan sebanding dengan sumber dana bank syariah lainnya, yakni simpanan mudhorobah dan investasi mudhorobah antarbank (IMA). Kesebandingan ini akan memudahkan pencegahan moral hazard bank syariah untuk menjadikan pembiayaan likuiditas BI sebagai first resort. Selama BI menetapkan nisbah bagi hasil untuk dananya lebih dari nisbah bagi simpanan mudhorobah dan IMA, maka bank syariah akan mengambil pembiayaan likuiditas BI hanya jika dua sumber dana pertama tidak mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Jika BI memungut biaya atau imbal tetap, ada saat di mana bank syariah melihat dana dari BI lebih murah daripada dari simpanan mudhorobah dan IMA, yakni ketika tingkat ekuivalen imbal dari dua sumber dana tersebut lebih dari biaya dana BI. Dalam praktik, pembiayaan mudhorobah BI dapat diwujudkan dengan BI membeli sertifikat investasi mudhorobah yang diterbitkan oleh bank syariah.

Konsep ini mudah diterapkan karena bank syariah sudah sering menerbitkan sertifikat IMA. Agar fasilitas pembiayaannya hanya menjadi last resort, BI hanya perlu menjaga agar nisbah bagi hasilnya senantiasa lebih tinggi daripada nisbah simpanan dan IMA. Fasilitas pembiayaan mudhorobah ini juga berpotensi menjadi instrumen kebijakan moneter ekspansif dengan menetapkan nisbah bagi hasil yang lebih rendah dari nisbah simpanan dan IMA.